ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, bencana akibat krisis iklim kini terjadi setidaknya sepekan sekali di belahan dunia. Negara-negara berkembang diimbau untuk mewaspadai dampaknya.
Topan Idan dan Kenneth di Mozambik, serta kekeringan di India memang menjadi perhatian dunia. Namun di berbagai belahan dunia lainnya, bencana dengan skala lebih kecil terjadi setiap harinya, mematikan dan menyengsarakan manusia.
Juru Bicara Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB) urusan bencana mengatakan bahwa rentetan bencana ini berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Ini bukan soal masa depan, ini tentang saat ini,” kata Mizutori dilansir dari The Guardian.
Mizutori menilai bahwa adaptasi terhadap bencana akibat krisis iklim tak bisa lagi dilihat sebagai masalah jangka panjang. Efeknya yang sudah mulai dirasakan, membutuhkan antisipasi cepat.
Asumsinya, biaya yang dibutuhkan untuk menangani bencana akibat krisis iklim sebesar 520 miliar dollar AS atau sekitar Rp 7.350 miliar per tahun, sedangkan biaya untuk membangun infrastruktur tahan dampak pemanasan global hanya sekitar tiga persen atau 2,7 miliar dollar AS (Rp 38 triliun) totalnya selama 20 tahun.
“Ini bukan nilai yang besar, tapi peran investor kurang. Ketahanan perlu menjadi komoditas yang harus dibayar orang,” ujar Mizutori.
Artinya, manusia perlu menerapkan standar baru untuk infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud meliputi rumah, jalan, rel, pabrik, pembangkit listrik, dan pasokan air. Dengan demikian, infrastruktur yang ada akan tak akan terlalu rapuh terhadap efek banjir, kekeringan, badai, dan cuaca ekstrem.
Hingga kini, mitigasi bencana terkait perubahan iklim hanya jadi jargon untuk mengurang emisi gas rumah kaca. Padahal, kita juga perlu fokus pada dampaknya dan cara untuk beradaptasi secepat mungkin.
Adaptasi terhadap perubahan iklim tak membuat kita lupa akan penanganan akar masalah. Namun, adaptasi perlu diterapkan sebagai solusi jangka panjang.
“Kita bicara soal darurat perubahan iklim, namun jika kita tidak bisa menghadapinya, kita tidak akan selamat,” kata Mizutori.
Banyak dari bencana berskala kecil sebenarnya bisa dihindari jika masyarakat menerima imbauan dini. Bencana ini bisa dihadapi dengan infrastruktur pengendali banjir dan cadangan air yang sebenarnya bisa dibangun pemerintah.
Masalah ini tak hanya jadi pukulan berat bagi negara-negara berkembang. Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang lebih makmur itu juga dilanda gelombang panas dan harus menciptakan infrastruktur untuk melindungi warganya dari bencana serupa.
Solusi alami seperti penanaman bakau, hutan, dan lahan basah perlu menjadi penangkal banjir yang diprioritaskan.
Lebih lanjut, orang-orang yang hidup di penampungan atau wilayah kumuh perlu dilindungi juga. Mereka yang lebih terancam yakni warga miskin, perempuan, anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, dan orang-orang yang hidupnya tak menentu dan sulit memenuhi kebutuhan dasar.
Mizutori mengatakan, regulasi bangunan perlu diperbarui dan diterapkan dengan ketat. Tiap pemerintah dinilai perlu mengkoordinasikan mitigasi kebencanaannya dengan baik.
Masalah ini tak hanya jadi pukulan berat bagi negara-negara berkembang. Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang lebih makmur itu juga dilanda gelombang panas dan harus menciptakan infrastruktur untuk melindungi warganya dari bencana serupa.
Solusi alami seperti penanaman bakau, hutan, dan lahan basah perlu menjadi penangkal banjir yang diprioritaskan.
Lebih lanjut, orang-orang yang hidup di penampungan atau wilayah kumuh perlu dilindungi juga. Mereka yang lebih terancam yakni warga miskin, perempuan, anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, dan orang-orang yang hidupnya tak menentu dan sulit memenuhi kebutuhan dasar.
Mizutori mengatakan, regulasi bangunan perlu diperbarui dan diterapkan dengan ketat. Tiap pemerintah dinilai perlu mengkoordinasikan mitigasi kebencanaannya dengan baik. (AT Network)
Discussion about this post